Aku membuka mata yang telah aku pejamkan beberapa menit sambil menghela nafas ini dalam-dalam tanda bahwa aku sedang meredakan emosi yang telah memuncak.
“Sudahlah hubungan ini enggak perlu dilanjutin lagi”
Aku memulai membuka percakapan dengan tetap menahan emosiku agar tidak meledak.
“Apa maksud mu?” pria yang saat ini ada dihadapanku mulai melayani perkataanku tadi.
“Aku muak, aku cape, aku mau kita putus!”
“Kamu pasti bercanda kan?”
“Apa aku terlihat seperti orang sedang bercanda? Aku serius, kita putus” ucapku sambil menahan air mata.
“Tapi, aku tau aku salah dan aku juga udah minta maaf sama kamu”
“Apa kata maaf dari bibir seorang pecundang itu cukup untuk menutupi luka dihati akibat ulah pecundang itu sendiri?”. Pria dihadapanku kini berubah menjadi patung yang bernafas, tak ada suara yang terdengar darinya.
“Bukankah hanya pria hidung belang saja yang setia pada satu hobinya, memainkan perasaan seribu wanita bahkan lebih, dan kamu salah satunya.” Ucapku
“kamu yakin mau kita putus?”
“Untuk mesudahkan hubungan dengan pria macam kau ini, aku sangat yakin”
Tatapan handalnya mulai ia keluarkan, tatapan yang menatapku dalam-dalam. Dan tatapan yang entah itu lambang penyesalan atau lambang permainan baru. Aku tak mau termakan oleh tatapannya. Tanpa fikir panjang, ku balikan posisi ku hingga membelakanginya dan aku tinggalkan dia yang masih dalam posisi mematung.
***
“Sof, temenin aku nonton Stand Up Comedy yuu!!” ucap sahabatku dari ujung telfon
“kapan tuh acarannya? Dimana van?”
“Besok malam digedung Sembilan FIBUI. Aku udah beli tiketnya untuk dua orang loh” ucap Ivan pada ujung telfon.
Tanpa adanya ucapanku yang menjawab ajakannya itu, mau tak mau Ivan sahabatku itu pasti tetap memaksaku untuk menerima ajakannya.
Suara dengan ciri Khas serak-serak basah itu sudah tidak terdengar lagi, tanda bahawa Ivan telah mengakhiri perbincangan kami melalui telfon ini. Suara itu telah usai menghuni lorong telingaku, namun entah mengapa aku masih ingin mendengar suara dan berbicara dengan pria pemilik suara serak-serak basah itu. Sebenarnya rasa ini aneh, selalu kangen dengannya, dengan suaranya. Suara itu selalu ku dengar di Sekolah, di Rumah, di Telfon atau di Voice Note sekalipun. Bahkan kata-kata perhatian seperti “Kamu udah makan? Jangan sampai sakit ya” sudah keluar dari suara serak basah yang lembut itu.
Aku memutar ulang memori kemarin, saat aku sedang berada pada titik ke kesalan yang memuncak dan itu disebabkan oleh mantan kekasihku yang dulu aku sayang amat sangat aku sayangi. Dan pada saat itu orang yang ada untuk aku bersandar menumpahkan kesedihanku menangis dipelukannya yang hangat hingga menimbulkan rasa nyamanku kepadanya , Ivan.
***
Hujan masih turun rintik-rintik, aku bisa menikmati titik-titik air hujan yang menempel dikaca jendela yang lama kelamaan menimbulkan embun pada kaca. Pohon hijau yang bergerak-gerak diluar terlihat menari dengan gerakan luwes. Sebenarnya aku khawatir terhadapnya. Namun aku tetap mencoba menikmati pemandangan dan mencoba untuk tetap tenang meredakan rasa khawatirku kepadanya. Aku menatap jalanan yang ada dihadapanku, jalanan yang seketika sepi persis seperti jalan buntu yang hanya ada angin lewat saja yang berkunjung dijalan itu.
Jemariku menggenggam erat Handphone dengan sesekali aku menekan tombol buka kunci, berkali-kali ku hubungi Ivan, tak ada jawaban apapun darinya. Aku khawatir jika tubuhnya basah kuyup akibat hujan. Aku ingin meninggalkan tempat dudukku yang menunggunya, dan berlari ketempat ivan berada. Namun, terlalu bodoh jika aku lakukan, karna sampai saat ini aku tak tahu sama sekali tentang keberadaan Ivan sekarang. Ku coba untuk tetap bersabar menunggu, hingga akhirnya memang dia datang dengan wajah kelelahan, dan dilengkapi dengan baju kebasahan.
“Sudahlah van, untuk malam ini dan kali ini kayaknya kita batalin aja nonton Stand up comedy, kamu kehujanan”
Aku tak bisa menyembungikan rasa khawatir gelisah. Dia menatapku dengan pancaran yang tak sepenuhnya sehat.
“Malam ini Fico, runner up stand up comedy Indonesia ke-3 itu show, aku enggak mau melewatkannya begitu saja. Jadi kita harus tetap nonton yang malam ini” ucap ivan memaksa.
“Tapi van, liat deh muka kamu aja kusut kalau kita tetep nonton, kamu bisa jatuh sakit”
“Soffie, sekarang liat deh , muka aku udah enggak kayak kaset kusut lagi kan? Dua hari kita enggak ketemu. Masa sekarang ketemunya juga sebentar. Aku kangen. Kita tetap nonton ya”
Senyum malu yang ku tunjukan bermaksud untuk menutupi rasa salah tingkahku.
“Oke kita nonton, tapi kamu keringkan rambutmu dengan handuk kecilku dan kamu tunggu disini aku mau kesana sebentar”
Aku berlari kearah Cafe disudut jalan sana, dan segera aku membeli dua gelas Capucino hangat dan Sekotak Kebab yang sehat sesuai kesukaannya.
“Ini kamu makan dulu kebab ini biar kenyang, lalu kamu minum Cappucino ini biar hangat”
Senyumku kembali timbul saat aku melihat dia menyantap makanan yang ku beli dengan lahap, sepertinya dia memang lapar. Setelah Ivan menghabiskan makanan dan minuman yang aku beli untuknya, tanpa basa-basi Ivan langsung menggandengku dan mengarahkanku untuk masuk kedalam Gedung Sembilan FIBUI
***
Seluruh penonton di Auditorium gedung Sembilan FIBUI ini tak banyak bicara, memperhatikan MC yang berbicara didepan. Saat MC berkata “Mari kita sambut seorang Comica yang handal”. Semua benar-benar terdiam. Hingga akhirnya muncul suara yang berkata “Samlikum”. Tanpa melihat siapa pemilik suara itu, penonton sudah banyak membicarakannya karena Hook yang di ucapkan oleh suara itu adalah ciri khas dari Fico, Runner up stand up comedy Indonesia ke-3. Fico benar-benar menghipnotis, Audiensi meledak dalam tawa menyimak lelucon-lelucon secara detail tanpa mempedulikan yang lain.
Sebenarnya aku bukan hanya memperhatikan Fico. Ivan! Entah mengapa semakin aku sering bersamanya semakin aku merasakan kenyamanan yang semakin hari semakin lama semakin bertambah. Alis tebalnya agak mengkerut karena terlalu kencang tertawa, pancaran matanya terlihat fokus memperhatikan gerak-gerik Fico, bibirnya tersenyum lebar akibat hipnotis ulah dari perkataan yang di ucap Fico.
“Tiga hal yang membuatku nyaman tertawa lepas seperti ini” cakap pria yang sejak dari tadi aku perhatikan, diam-diam.
“Apa saja itu?” jawabku dengan mata tetap fokus ke arah Fico.
“Menonton Stand up comedy seperti ini, hati dan” perkataan Ivan berhenti seketika.
“Dan apa?” Ucapku penasaran
“Dan kamu”
Awalnya aku tersenyum penasaran, namun saat Ivan berkata hal itu. Seketika senyumku berubah menjadi senyum malu. Senyum malu yang ku tunjukan dengan bermaksud menutupi rasa salah tingkahku yang datang langsung secara maksimal dibuatnya.
Dan pada saat Punch Line yang di keluarkan Fico, Kami semakin tertawa terbahak-bahak dan spontan Ivan merangkulku yang membuat badanku terarah kekanan dan kekiri mengikuti gerakan tangan yang merangkulku itu. Aroma tubuhnya sangat tercium, desahan nafasnya semakin lama semakin terdengar. Dia menempelkan kepalanya dikepalaku dan mempererat rangkulannya. Sesekali aku memperhatikan mimic wajahnya, Ivan sesekali melirik kearahku, bahkan sesekali kami bertatap pandang yang menimbulkan getaran jantung ku memuncak.
Stand Up Comedy yang di bintangi seorang comic ternama, Fico. Telah selesai, namun suara tertawa dan komentar tentang apa yang Fico tampilkan masih saja terdengar. Ivanpun masih memasang ekspresi wajah menahan gelinya tawa. Aku terdiam memperhatikan gerak gerik Ivan yang seolah-oleh meniru Hook yang di miliki Fico, dan sesekali tertawa geli memperhatikan tingkah lakunya.
***
“Nyari makan yu Sof, laper banget nih”
“Sama aku juga laper nih”
“Yaudah kita cari makan aja yu” Ivan menarik lenganku namun seketika aku berhenti melangkah.
“Eits bentar deh, kita makan disana aja, Bale Bambu” tunjukku kearah Bale Bambu itu sambil menggandeng Ivan agar ia mengikutiku. “Tenang saja, nih aku bawa nasi bakar sum-sum langsung dari Serang. Ini makanan kesukaan kamu kan?”
“Wuihhh, kamu perhatian banget” Ivan segera meraih kotak nasi bakar itu dan membuka penutupnya. “Ngomong-ngomong ini beneran langsung dari serang?”
“Iya van. Kakaku baru pulang jadi serang, dan aku sengaja nitip Nasi bakar Sum-sum ini buat kamu” kataku tersenyum
“Thanks banget, Soffie”
Aku mengangguk lemah dan tersenyum kearah pria yang kini selalu berhasil membuatku tersenyum bahagia bahkan tertawa lepas. Senyum manis itu pula ku temukan saat kami pertama berkenalan. Perkenalan kami terjadi secara tiba-tiba. Waktu itu aku baru saja pulang mengajar Vocal pada anak-anak Sanggar Nada Pelangi. Saat itu hujan deras, aku langsung berlari mencari tempat perlindungan untuk menghindar dari serangan air yang jatuh dari langit. Dan tiba-tiba kendaraan roda dua melewati tempat ku berteguh dengan kecepatan tinggi. Mungkin dia sedang menghindari hujan, sama sepertiku. Tepat didepan hadapanku, ada genangan air yang lebar dan saat dia lewat didepanku dengan kencang, air itu meloncat kearahku. Alhasil bajuku basah kuyup dan posisi pada saat itu adalah malam hari.
Awalnya aku berfikir bahwa si pengendara itu tidak memperdulikan aku, orang yang secara tidak sengaja menjadi korbannya. Diluar dugaanku, sipengendara itu menghampiriku, meminta maaf padaku, menjelaskan padaku bahwa ia sedang buru-buru akibat hujan dan dia juga meminjamkan jaket Adidas yang ia kenakan didalam jas hujannya sehingga jaket itu tidak basah dan layak untuk aku pakai. Sejak saat perkenalan pertama itulah aku dan Ivan lebih sering menghabiskan waktu berdua.
Dia memang datang disaat yang tidak tepat, saat cintaku di miliki laki-laki lain. Namun dia selalu ada saat aku membutuhkan teman, membutuhkan pundak untuk menenangkan hati. Hingga saat ini saat yang tepat saat aku Stress memikirkan soal cinta yang mau tak mau sudah terfikirkan dibenakku, saat hati kacau balau, saat cerita cinta berantakan. Ivan datang membawa seribu kebahagian.
Aku memang sedang membutuhkan laki-laki humoris yang tak akan lagi membuatku menangis. Sosok itu ku temukan dalam dirinya. Laki-laki itu kadang memeluk tubuhku tanpa banyak bicara. Segalanya berjalan begitu saja. Dari mulai kebahagian yang paling sederhana hingga kebahagian yang paling istimewa. Meskipun aku tak menemukan alasan, mengapa dia begitu mudah merangkul, menggandeng, menggenggam, bahkan memelukku tanpa merasa canggung? Dan mengapa dia selalu membuatku merasa nyaman?
Aku tak tahu bagaimana perasaanya terhadapku. Aku tak boleh tergesah-gesah menyebut segalanya adalah cinta. Cinta bukan sepaket perkenalan dan hubungan yang terbentuk tanpa proses. Semua harus butuh dan memalui proses hingga mencapai finish. Tapi, bukankan aku dan dia memang sedang dalam proses?
Ivan yang sibuk menguyang makanan itu kini terlihat makin mempesona. Entahlah, mungkin aku sedang jatuh cinta.
***
Sering kali bahkan hampir setiap hari aku menemaninya, menemani hampir seluruh aktifitasnya. Hari ini memang berbeda. Dia mengajaku kerumah pohon tepi danau, tempat ini belum pernah aku dan Ivan kunjungi bersama, bahkan belum pernah aku kunjungi sama sekali.
Ku lihat tindakannya juga berbeda, dia terus menggenggam erat jemariku, tidak seperti biasanya. Entah mengapa, aku tak bisa melawan dan mengela ketika dia memperlakukan ku layaknya seorang kekasih. Bolehkan aku beranggapan bahwa dia punya perasaan yang lebih terhadapku? Dia sudah merangkul, menggandeng tanganku, dan tak segan-segan memujiku. Bukankah itu berarti dia punya perasaan lebih dari pada teman?
Kami terus berjalan hingga sampai didepan pohon yang besar. Ivan menyuruhku untuk menaiki anak tangga yang sudah tersedia dipohon ini menuju rumah pohon yang terletak empat meter dari bawah tanah. Ivan menyusulku dari belakang. Buru-buru membuka sebuah Box yang lumayan besar, sepertinya isi dalam Box itu cukup banyak, makanan-minuman
“Kamu yang menyiapkan ini semua?” tanyaku tak percaya.
“Yup” jawabnya singkat.
“Masa sih? Aku enggak percaya. Mana bisa kamu menyiapkan ini semua? Ini tuh lebih”
“Yaelah! Memangnya Cuma kamu yang bisa bikin kejutan kecil seperti ini? Aku jauh lebih bisa dari kamu. Liat ini semua makanan minuman kesukaan dan makanan kesukaan yang sering kamu makan kan?”
“Iya van, tapi aku masih enggak percaya, kamu hebat” Ucapku memujinya
Suasana hening seketika, aku terus memperhatikan sekitar yang penuh dengan makanan-minuman dan barang-barang kesukaanku. Tiba-tiba Ivan memeluk tubuhku dari belakang, sambil berkata “Ini semua untuk kamu, nanti malam masih ada sesuatu yang harus kamu tau, Soffie. Aku sayang kamu”. Mendengar perkataan Ivan, seketika aku ingin terus mengulang waktu. Waktu dimana Ivan terus berkata seperti itu padaku. Entah mengapa hatiku seperti menjerit dan berteriak “AKU JUGA SAYANG KAMU, IVAN”
Ivan melepaskan pelukannya itu, dan berjalan mengambil segelas minuman untuknya sendiri. Kamipun menghabiskan waktu hari ini dengan makan siang sederhana. Tanpa ku minta, Ivan memberikan suapan pertamanya padaku. Dia juga memberikan setangkai bunga kesukaanku, Tulip. Senyumannya yang manis menambahkan keindahan suasana hari itu. Hari ini benar-benar beda, benar-benar bahagia. Sesekali dia membuatku tertawa lepas akibat tingkah lakunya yang seolah-olah meniru gaya Comic ternama seperti Raditya Dika. Dia juga menyanyikan beberapa lagu romantic dengan iringan gitar yang ia mainkan. Suasa saat itu terjadi begitu romantis, amat sangat bahagia.
“Nanti malam aku pakai baju apa ya?” Tanya Ivan yang tiba-tiba meminta pendapatku.
“Memangnya nanti malam kamu mau kemana?”
“Mau ke Cafe Banana Cake, kamu harus dateng nanti malam. Ada sesuatu yang harus kamu tau”
“Apa itu?” Tanya ku penasaran
“Kalau aku kasih tau sekarang namanya bukan Kejutan dong” Ucapnya tertawa. “Dan sekarang kamu kasih saran dong. Aku harus pakai baju apa nanti malam?”
Aku terdiam sambil menganggukan kepalaku secara perlahan entah pertanda apa.
“Pakai kemeja putih yang kamu pakai saat menemaniku ketoko buku, dua minggu yang lalu”
“Kamu suka banget sama kemeja itu, ya?” ucap Ivan. Aku mengangguk sambil tetap tersenyum.
“Kamu pasti ganteng banget deh”
“Nah, nanti malam kamu pakai Dress yang warna putih ya!”
“Kenapa harus itu?”
“Kamu terlihat lebih anggun dengan itu”
Aku terdiam, tersenyum dan hatiku tetap berapa pada musim bunga bermekaran, tanda kebahagian.
***
Aku sudah sampai di tempat yang sudah Ivan janjikan, Cafe Banana Cake. Sambil melirik sana sini, aku memainkan Handphone dan terus menghubungi Ivan namun tak ada jawaban. Mulai cemas aku dengan Ivan, aku takut terjadi apa-apa dengan Ivan, aku cemas terhadapnya. Tiba-tiba ada yang menepuk pundaku dari belakang yang membuatku terkejut.
“Soffie, kamu cantik banget malam ini”
Aku terdiam , memperhatikan sosok yang menepuk pundakku tadi dari ujung rambut ampai ujung kaki dengan tatapan aneh.
“Ivan, kamu beda banget. Kamu lebih jauh mempesona”
“Ah kamu juga cantik, ayo kamu duduk didalam. Dimana saja yang kamu suka. Aku mau kebelakang panggung dulu sebentar”
Aku terdiam dan melangkah. Langkahku berjalan menuju kursi depan panggung mini. Kemudian aku duduk disamping seorang perempuan berambut panjang. Perempuan itu tersenyum singkat kearahku, dia mengajakku berbincang beberapa saat mengenai Cafe ini. Aku menjawab dengan pengetahuan yang aku miliki. Nampaknya perempuan ini baru berkunjung ke Cafe ini. Kami menyaksikan hiburan music yang berada dipanggung mini. Kemudian tiba-tiba suara gitar akustis berbunyi dan seseorang menyanyikan lagu Adera - Lebih Indah.
Semua pengunjung Cafe memperhatikan seseorang yang menyanyikan lagu Adera dengan iringan gitar akustis itu, Ivan. Hatiku bergetar lebih kencang dari biasanya. Aku terhipnotis akan suara merdu yang dimiliki Ivan dan petikan gitar akustik yang dimainkannya. Dia sangat mempesona, aku mencintainya.
Dia sudah menajadi nomer satu dan lebih dari indah di hatiku.
“Dia menarik ya?” Tanyaku kepada perempuan disamping yang sejak tadi terlihat tidak berkedip memperhatikan penampilan Ivan.
“Laki-laki romantic, sangat mempesona”
Betapa bahagianya aku mendengar pendapatnya tentang pemegang kekuasaan di hatiku ini. Mata kami sama-sama tak berkedip karena Ivan terlalu mempesona. Lagu Adera – Lebih Indah yang dibawakan Ivan telah selesai. Dan berhasil mengundang perhatian seluruh pengunjung Cafe dan sukses membuat seluruh pengunjung bertepuk tangan sangat meriah. Ivan tak turun dari panggung. Didepan sana dia melambaikan tangan kearahku, tapi entah mengapa tatapan matanya tak mengarah kearahku.
“Disini gue punya satu lagu, lagu yang dari dulu niat banget gue nyanyiin, lagu yang dari dulu gue tunggu buat gue nyanyiin dan lagu itu untuk seseorang” Ucap Ivan.
Apa yang di ucap Ivan membuat aku terlalu percaya bahwa orang yang ivan maksud adalah aku, Soffie.
“Lagu ini special gue nyanyiin buat dia orang yang paling special dihidup gue, sosok yang menyemangati gue, dan yang selalu rela mendengar semua cerita gue” lanjut Ivan.
Aku semakin yakin bahwa itu adalah aku, aku, dan aku. Hatiku tak sabar mendengar Ivan menyebut nama “Soffie” didepan orang banyak.
“Dia adalah ...... Dinda. Kekasih hati gue, pemenang dihati gue”
Telingaku berdenging. Aku tak mempercayai pendengaranku. Tubuhku lemas seketika. Aku tak tahu aku harus apa. Perempuan disampingku melangkah kedepan panggung mini Cafe Banana Cake. Ya, perempuan yang sejak tadi berbincang-bincang riang denganku. Apa ini yang dia maksud kemarin? Aku butuh pejelesanan sejelas mungkin! Dan aku butuh seseorang membangunkan aku dari mimpi buruk ini.
Aku terus terduduk lemas dibangku yang betul-betul berada diposisi paling depan dan amat sangat jelas melihat Ivan dan kekasihnya diatas panggung. Seolah mati rasa, tak tahu harus berbuat apa. Mereka diatas panggung, tersenyum senang. Laki-laki yang amat sangat aku cintai dan kekasinya terlihat lebih mesra, lebih mesra dari aku dan Ivan. Ivan menggenggam tangan Dinda dan menyanyikan lagu special bersama Dinda. Ivan merangkul perempuan itu, lebih hangat dan lebih dekat dari ketika Ivan merangkul dan menggengam tanganku. Mungkin itulah mengapa dia begitu mudah merangkul, menggenggam, dan memelukku. Karena dia sudah lebih dulu belajar dari kekasihnya.
Lagu Smash – I Heart You yang dibawakan Ivan untuk Dinda telah selesai, namun perasaanku tetap bercampur aduk. Kecewa, Jahanam, Aku berteriak geram. Sambil menahan air mata. Tiba-tiba ponselku bordering. Ku lihat namanya dilayar ponselku, ku angkat panggilan itu ragu-ragu. Dia mengajakku untuk bertemu dibelakang panggung.
Aku menghela nafas, berusaha mengumpulkan kekuatan agar tetap terlihat baik-baik saja didepan dia dan kekasih hatinya. Aku berjalan menemuinya dibelakang panggung, menyaksikan kegiatan mesra yang dia lakukan bersama kekasihnya. matanya berbinar terang dan wajahnya terlihat sangat bahagia. Perempuan yang tadi duduk disampingku saat kami melihat penampilan Ivan, terus digenggan tanganya oleh laki-laki yang aku cintai. Sekarang aku tak tahu apakah aku harus tersenyum bahagia atau menunjukan perasaan sedihku?
Aku menunggunya di pintu masuk belakang panggung mini. Dia menghampiriku bersama kekasinya.
“Soffie, kenalin ini Dinda kekasih pujaan hatiku”. Ucapan ivan dengan semangat memperkenalkan kekasihnya tanpa memperhatikan perasaanku. Dan perempuan yang tangannya tak lepas dari genggaman Ivan langsung beraksi.
“Jadi ini yang namanya Soffie? Yang selalu bantu kamu kalau kamu susah dan selalu menamani kamu itu?” ucap Dinda
Aku mengganguk lemah yang dihiasi dengan senyum palsu.
“Makasih ya kamu udah perhatian sama Ivan”
“Iya sama-sama” Ucapku sambil tetap menahan air mata.
“Tadi kamu duduk disamping aku kan? Kenapa enggak bilang?” Ucap Dinda dengan Ramah. Dia menjabat tanganku dan memperkenalkan namanya. Dan aku hanya terdiam
“ Oh iya Sof, tadi siang aku bilang kalau kamu harus tahu sesuatu. Ya, ini lah yang harus kamu tahu. Karna kamu sahabat terbaikku. Kami akan bertunangan esok, tolong doakan kami ya.”
Tubuhku melemas mendengar pengakuan dari Ivan, rasanya aku ingin teriak dan bangun dari mimpi buruk yang paling buruk ini.
“Dan ingat enggak, aku pernah bilang. Didunia ini Cuma ada tiga hal yang membuat aku nyaman tertawa lepas, yaitu menonton Stand Up Comedy, kamu dan hati. Ya, hati itu Dinda, kekasihku” Lanjut Ivan.
Ucapan Ivan yang melanjutkan pengakuannya membuat tubuhku tambah melemas, tamah menambah penderitaan hati tulusku. Semuanya lengkap sudah, kacau galau melau kecewa sedih semuanya bercampur menjadi satu dan enggak tau cara untuk menghilangkannya. Aku hanya terlalu berharap dengan semua ini, aku hanya terlalu yakin dengan jalan cerita ini, kayakinan dan harapan yang tidak pasti itu yang membuat aku kecewa diakhir seperti ni.
Laki-laki itu, laki-laki yang ku cintai diam-diam, langsung meraih tubuhku. Namun satu tangannya tetap menggenggam jemari Dinda, kekasihnya. Aku menyambut pelukan itu dengan menahan air mata, namun tetap saja mataku berarir. Air mata yang ku akui didepannya sebagai air mata bahagia, terharu.
Kini aku mengerti, orang yang pernah membuatmu tertawa paling kencang dalam kebahagian adalah orang yang akan membuatmu menangis paling kencang dalam kekecewaan.
TAMAT