Sabtu, 10 Januari 2015

Maya

Maya
Created By Acandra Aryani
Aku masih duduk dibangku kelas XI SMA. Dan aku adalah seorang perempuan penyendiri yang tak terlalu nyaman dengan keramaian. Hari-hariku begitu basi. Aktivitasku berjalan cukup menonton. Tak banyak orang yang mengenaliku. Tak banyak sosok yang ku kenal. Banyak diantara mereka mengatakan bahwa aku sosok yang aneh, sosok yang tak terbiasa dengan keramaian. Hidupku garing, hanya berada diantara Ayah dan Ibu. Hanya berada dibawah tangan Kakak kandungku. Hanya berdampingan dengan satu orang teman bahkan sahabat yang cukup setia padaku. Banyak diantara teman-teman sekolahku yang tak dekat denganku. Tak dekat dari sosok perempuan yang lebih sering marah diantara keramaian yang mengganggu ketenangan suasana.
     “Kapan kamu mau bersosialisasi sama lingkungan kalau kamunya diajak kumpul karang taruna aja susah!” Ucap kakaku sambil mendekatiku yang selalu asik dengan blackberryku.
     “Karang taruna juga Cuma ngumpul-ngumpul enggak jelas dong kak”
     “Dari mana sisi enggak jelasnya? Karang taruna itu punya beribu dampak positif buat kamu”
     “Yang kerjaan Cuma nongkrong, ngombrol, makan-makan, selfie, ngegosip. Itu yang disebut dengan dampak positif? Makan waktu!”
     “Jangan ambil dari sudut sananya, ambil manfaatnya”
     “Ayah mana? Ibu mana?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan
Kakakku yang sejak dari tadi berbicara menceramahiku, seketika terdiam saat pertanyaan itu terlontar dari mulutku.
     “Kenapa diem kak? Ayah ibu mana?”
     “Ngapain kamu nanya ayah sama ibu kayak gini! Sudah terbiasa kalau dirumah hanya berdua saja. Ayah ibu terbiasa dengan urusan masing-masing” oceh kakak kandungku, Sabrina.
     “ohya, sampai lupa rasanya kumpul sekeluarga, aku mau kekamar aja”
          Sudah tak asing dengan keadaan rumah yang hanya ini-ini saja, dengan suasana yang garing, bosan, basi, suntuk. Keadaan rumah yang sepi hening sunyi. Tak ada canda tawa pada keadaan rumah ini, tak ada lukisan keceriaan yang aku dapatkan pada keadaan suasana rumah ini. Mungkin inilah salah satu penyebab aku tak begitu menyukai keramaian, aku penyindiri.
***
          Aku mengerti didunia ini tak bisa hidup menyendiri, melainkan sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk kelangsungan hidup. Tapi, entah mengapa makna itu tak terserap dalam hidupku. Tak berarti dihidupku. Hidupku tetap saja hampa. Tetep saja basi. Tetap saja garing. Hingga suatu hari, Ku alihkan diriku untuk mengenal dunia luar, dunia yang tak bisa diraba, dunia yang entah berwujud atau tidak. Dan dunia itu adalah dunia maya.
          Aku mencoba berinteraksi dengan dunia yang serba tak terbatas itu, aku bisa jadi siapapun yang kumau. Aku bisa bergonta-ganti topeng semauku, aku bisa menjadi diriku yang ku inginkan. Awalnya aku begitu risih dengan orang-orang yang mengirim Wall pada facebookku dengan bahasa yang sok kenal dan sok dekat itu. Aku tak biasa dengan orang-orang yang mengirim Mention pada akun twitterku dengan gaya sok modern. Namun, tetap saja aku harus berinteraksi. Sampai aku menikmati perkenalanku didunia yang tak benar-benar nyata dengan banyak orang, dunia maya.
          Setiap harinya, laptopku terus saja bekerja. Ku bawa ia kemana-mana, menemaniku dalam dunia nyata yang bisa dikatanya dunia yang hampa. Mengantarku kedalam dunia yang ramai, dunia maya. Lalu, tuhan menggerakan jemari-Nya. Aku bertemu dia. Dia meminta followback pada twitterku dan mengirim mention pada akun twitterku. Berawal dari situ lah aku mulai mengenalnya, kami lebih sering menghabiskan waktu untuk mentionan pada akun twitter kami. Tak jarang,kami terkena omelan teman-teman twitter karna banyak diantaranya yang mengatakan bahwa kami menyepam pada TimeLine-Nya. Aku tertawa kecil membaca mentionan mereka yang memarahi kami.
          Aku tak ingin membuat followers pada akun twitterku meng-Unfollow aku karna aku lebih sering menyepam pada berandanya. Berlanjut ke DirectMessage dan semakin intens di Sms. Aku telah mengenalnya, berbulan-bulan kami saling membalas mention, saling mengomentari foto yang kami upload pada akun twitter kami masing-masing. Aku juga telah mengenal teman-temannya, keluarganya serta mantan kekasihnyapun sedikit demi sedikit aku mengetahui asal-usulnya. Hampir setiap hari perbincangan manis kami terjalin. Dia mengingatkanku agar tidak telat makan dan istirahat yang cukup. Malam harinya pembicaraan berlanjut lewat salah satu socialmedia, Skype. Wajahnya yang agak lonjong, matanya yang bulat coklat seperti mata kucing, hidungnya yang mancung, senyum tipisnya yang manis dihiasi kumis tipis, terlihat jelas pada perbincangan Videocall kami malam itu.
          Aneh, aku selalu tersenyum-senyum saat melihat wajah manisnya walau hanya lewat Skype. Dan, mungkin aku telah jatuh cinta pada sosok yang belum pernah ku genggam jemarinya, yang tak pernah ku rasakan hangat sinar matanya secara langsung, yang pelukannya belum pernah menyentuh tubuhku.
          Setiap hari kami membiacaran banyak hal. Tentang, buku, desain, kuliner, seputar olahraga, dunia khayal, impian, cita-cita, tentang rasa dan juga cinta. Aku selalu bertanya-tanya, apakah cinta sungguh bisa hadir dari sosok bertubuh kaku dan dingin bernama Laptop dan Ponsel? Sebelumnya aku tak pernah merasakan perasaan aneh ini dalam masa menyendiriku. Aku tak tahu bagaimana perasaanya kepadaku, aku hanya menebak, terus menebak. Aku hanya bisa terus bertanya dan menjawab pertanyaanku sendiri dengan menerka-nerka.
          Tuhan? Mengapa dengan karakter kecupan berbentuk titik dua dan tanda bintang darinya membuatku cukup tenang?. Sesekali dalam percakapan kami diujung malam, pria itu mengecupku dengan suara kecupan yang manis. Jauh dikota sana, dikamar tempat tidurnya yang mungkin hanya cukup satu orang atau dua orang secara berdesakan, didalam selimutnya yang entah untuk menghangatkan atau untuk menghindar dari serangan nyamuk. Sebenarnya, dia pasti mengecup ponselnya, bukan aku. Aku merindukan suaranya saat tak lagi ku dengar. Merindukan candanya saat kami sedang tidak berkomunikasi. Merindukan sepenggal perkataan manis yang ia ucapkan untukku. Aku memikirkannya, seandainya dia berada begitu dekat bersamaku. Ini sungguh tuhan! Sungguh aku tak pernah merasakan rasa ini sebelumnya.
     “Kenapa kamu jarang sekali bercerita tentang pergaulanmu dengan teman-temanmu?” Tanya pria itu dengan nada heran.
     “Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
     “Iya aku heran aja, biasanya kan cewe itu paling suka menceritakan pergaulan bersama teman-temannya, hang out contohnya selfie sana sini motret sana sini”
     “Aku beda”
     “Maksudmu….”
     “Aku lebih suka menyendiri, aku enggak suka pergi yang enggak jelas tujuannya. Jadi aku enggak pernah pergi kemana-mana ramai-ramai” jelasku polos.
     “Kamu udah pernah kejogja?” tanyanya dengan beda topic pembicaraan
     “belum” jawabku singkat
     “Sayang banget, kamu harus kesini pokoknya. Aku cinta banget sama jogja” jawabnya dengan nada bersemangat
     “kenapa kamu bisa cinta sama Jogja? Apa karna jogja itu kota kelahiran?”
     “Wisss, aku lahir dijakarta dek. Tapi sudah menetap dijogja dari umur 10tahun”
     “Terus kenapa kamu bisa jatuh cinta sama jogja?” tanyaku singkat sambil memperbaiki posisiku berbaring. Aku sedang menerima telfon darinya. Iya inilah kebiasaan baruku. Menerima telfon dan videocall yang masuk darinya selama berjam-jam.
     “Nggak semua hal yang dimiliki jogja itu dimiliki dikota lain” dia terdengar tenang, mengagumkan dan menyenangkan.
     “Kalau aku kesana aku bakalan nyesel atau enggak mas?” tanyaku lugu
     “Nyesel? Aku jamin seratus bahkan seribu persen kamu enggak akan pernah nyesel berlibur kejogja dek. Kalau kamu ada waktu, kamu bisa main kesini”
     “jogja itu jauh banget, mas. Bingung disana mau kemananya nanti”
Dia tertawa mendengar perkataanku tadi, mungkin itu sebuah lelucon baginya.
     “Kalau kamu disini, kita bisa ketemu setiap hari. Keliling-keliling naik motor atau goes sepeda ontel, nonton PSS Sleman main, ke malioboro, ke pantai, Makan Gudeg. Pokoknya aku bakalan nemenin kamu ngubek-ngubek kota jogja. Jadi jangan takut bingung kalo kejogja, hubungin aku saja” katanya sediki tertawa
Aku tertawa geli mendengar perkataannya, akupun bahagia karna ada sosok pria yang perhatiannya melebihi perhatian ayah ibuku bahkan kakakku. Ya jelas, karna memang ayah ibuku tak akan pernah memperhatikanku, karna waktu yang mereka punya hanya diabiskan dengan urusan mereka masing-masing.
     “Dek?”
     “Iya mas?”
     “Coba deh banyakin kalau kita bisa bercanda setiap hari dengan jarak berdekatan” ucap pria diujung telfon sana yang mungkin sambil tersenyum.
     “Kalau soal itu, aku juga pengin banget mas. Tapi kayaknya tuhan belum mau kita lebih dekat”
     “Kenapa sih dek, kamu selalu bilang begitu. Seakan kamu enggak yakin dengan kebersamaan ini”
     “aku enggak mau terlalu berharap dengan keadaan mas, aku takut nantinya akan jatuh. Kan sakit mas”
          Dia terdiam, tak ada suara jawaban darinya. Aku membayangkan dia yang sedang berbaring ditempat tidur, selimut tipis membungkus tubuhnya. Matanya yang begitu indah, seperti ku lihat di Videocall skype, pasti dia sedang setangah mengatup menahan kantuk. Berkali-kali aku sarankan agar dia segera tidur dan terlelap, tapi dia menolak saranku itu dengan alasan, masih ingin mendengar suaraku ini. Perkataannya itu membuatku jadi berharap. Mungkin dia punya perasaan yang sama, atau mungkin juga tidak.
     “Mau sampai kapan kita seperti ini dek?”
Aku terdiam.
     “aku juga pengin kita enggak Cuma sekedar telfonan videocall dan smsan aja dek. Aku juga mau kalau kita bisa secepatnya bertemu” sambung pria diujung telfon itu.
     “Kapan kita bertemu?” pertanyaaku meluncur dengan cepat.
     “Setelah aku diterima untuk kuliah dijakarta dek, aku akan menetap lagi dijakarta tempat kelahiranku”
     “Masih lama mas, setelah kamu lulus Ujian nasional”
     “Jika dalam arti menunggu kamu mendapatkan yang lebih, maka didalam makna menunggu itu ada setuja kebahagian dari tuhan untuk sosok gadis mungkin sepertimu dek”
Ah, dia terlalu puitis. Aku jatuh cinta padanya.
     “Aku harap begitu mas”
     “Semua yang sempat maya akan menjadi nyata dengan segudang kebahagian, dek. Percayalah!”
          Kami sudah tidak bertelfonan dan aku masih terhipnotis kata-katanya yang membuat hatiku luluh. Kata-kata yang seakan-akan itu adalah kata paling termanis didunia. Kata-kata pria itu yang selalu membuat hatiku hanyat. Namun rasa bahagia itu rabun seketika saat aku melihat panggilan masuk pada ponselku, aku segera meraih benda yang jadi hangat bekas aku telfonan tadi. Ku kira pria itu lagi, ternyata bukan.
     “Ada apa Fer?” sapaku malas dan berharap pria ini tak banyak basa-basi.
     “Eh nganu. Aku Cuma mau mastiin kamu kalau kamu enggak tidur larut malam aja” dengan logat jawa medoknya yang membuatku ingin tertawa itu masih terus berbicara. “Kalau kamu tidur malam nanti kamu bisa meriang”
     “Gimana gue mau tidur kalau elunya telfon gini” ucapku tanpa berbasa-basi dan berharap perbincangan dengan Ferry segera berakhir.
     “Ohiya ya vir. Youwes koe turu sana, selamat malam”
     “Iya Fer, malam”
***
          Aku menunggu waktu dimana aku dan dia akan bertemu untuk pertama kalinya. Waktu dimana perdana aku akan menatap mata-Nya secara langung. Waktu dimana semua yang maya akan berubah menjadi nyata. Dua minggu sebelum Ujian Nasional kami berjanji untuk bertemu dalam satu kota, Jakarta. Pada waktunya aku berdandan, layaknya putrid mahkota yang bersiap menemui calon suaminya. Berkali-kali aku memperhatikan rambutku yang kucatok satu jam yang lalu, masih terasa aroma segarnya vitamin rambut. Aku menggengam ponsel, berharap ia cepat menghubungiku dan kami akan segera bertemu. Namun, tak ada panggilan masuk yang berkunjung diponselku. Tak ada kabar darinya yang menyatakan bahwa ia telah berada dijakarta.
          Beberapa jam aku menunggu kabar darinya, hingga akhirnya ia benar-benar mengabariku. Kabar yang tak ingin ku dapatkan, ia batal kejakarta dengan alasan tak mendapatkan tiket bus. Tuhan! Apa artinya aku berdandan layaknya putri kerajaan kalau hanya untuk menggenggam harapan?. Tuhan! Ini waktu pertamaku, yang aku pakai untuk bertemu dengan orang. Sebelumnya, aku tak pernah mau berjanji untuk bertemu. Ini waktu yang pertama dan ini waktu yang menyakitkan.
          Tak apa. Aku baik-baik saja. Aku menyayanginya, aku harus mengerti dengan semua keadaanya. Aku tetap menjalankan semua dengan berpura-pura bahwa tak ada rasa kecewa dihatiku. Tak ada rasa kesal dihatiku. Mengapa semua terasa baik-baik saja saat dia telah mengeluarkan kata-kata puitisnya itu bahkan aku luluh saat kata-kata itu terucap olehnya? Mungkin aku jatuh cinta pada dirinya.
          Percakapan kami semakin hari terjadi semakin mesra. Kami sibuk bercanda dan bercerita tentang mimpi-mipi. Hingga suatu kali aku dan dia terdiam beberapa saat ditengah-tengah percakapan kami. Dia biasa menyelipkan beberapa kecupan kecil dan kata-kata puitis yang dia perdengarkan dari ujung sambung telfon.
     “Dek, sudah pernah pacaran sebelumnya?”
     “Belum mas”
     “Belum? Sama sekali belum?” Nadanya yang heran terus bertanya demikian kepadaku. Seakan tak percaya dengan kenyataanku.
     “Iya mas belum pernah sama sekali”
     “Pacaran itu enak ya dek?” suara itu terdengar parau. Aku tak pandai membaca perasaan manusia, tapi ku temukan nada melau disana.
     “Mungkin mas, aku belum pernah merasakannya” ucapku polos.
     “Pasti menyenangkan, ada yang setiap hari bilang sayang, rindu, cinta. Setiap hari ada yang menghawatirkan. Setiap hari ada yang marah kalau makan telat. Ahhhh”
Aku terdiam lama dan tak bisa menjawab perkataannya. Aku belum pernah merasakan, bagaimana rasanya manusia normal berpacaran. Aku belum pernah merasakan indahnya mengobati rindu. Aku belum pernah merasakan hangatnya kasih sayang dan pancaran cinta dari seorang pujaan hati. Aku baru tersadar bahwa hidupku sangat menyendiri, sampai-sampai aku hampir saja tak mengerti akan adanya cinta disetiap insan yang tak sama.
Aku beranikan diriku untuk memulai pembicaraan.
     “Tapi mas, pacaran itu enggak muluk-muluk soal ungkapan rasa sayang cinta dan kangen. Tapi pacaran juga harus saling menjaga perasaan” kataku sok mengetahui tentang artinya cinta.
Dia tertawa geli, geli sekali.
     “Jangan jadi wanita munafik, dek. Wanita itu bisa jatuh cinta karna mendengar, kalau pria bisa jatuh cinta karna melihat”
     “Apa semua wanita itu seperti itu mas? Aku tidak”
     “Saat ini kamu berharap bisa pacaran sama seseorang atau tidak?”
     “Entahlah mas, aku mungkin jatuh cinta dengan sosok yang suaranya hampir setiap hari aku dengar”
Dia terdiam, akupun ikut terdiam. Tak ada suara yang terdengar pada perbincangan telfon pada saat itu. Mungkin aku dan dia sedang berfikir tentang perasaan kami masing-masing.
Seusai mengakhiri panggilan itu, aku menatap langit-langit kamarku. Ku terus menebak meraba perasaannya terhadapku. Terus bertanya-tanya tentang apa yang ia rasakan padaku. Bodoh sekali! Aku merasakan kehangatan kasin sayang darinya, bukan dari kedua orang tuaku. Aku menyayanginya, sangat menyayanginya.
***
          Aku senang dia diterima  di Universitas Indonesi Jakarta, fakultas kedokteran. Impiannya terkabulkan, cita-citanya segera ia raih. Aku bangga mengenalnya. Semenjak ia menduduki kota Jakarta. Kami telah banyak merencakan agenda kami untuk bertemu. Untuk berjalan-jalan bersama. Untuk makan bersama. Untuk bercerita berdua secara langsung sambil melihat matahari terbenam. Tapi, hingga saat ini rencana kami yang tertata rapi pada agenda yang kami buat. Belum satupun terwujudkan.
          Aku belum pernah melihat sosok pria itu secara langsung. Aku belum pernah mendengar suaranya secara langsung menelusuri lorong telingaku. Aku belum pernah menatap matanya secara langsung. aku terus berpegangan pada agenda yang kami buat dengan harapan segera terkabulkan.
          Beberapa bulan kemudian. Pada pagi harinya, suara ketukan pintu kamar terdengar mengagetkanku. Kakakku mengantarkan Koran pagi dan menyuruhku melihat berita mengenai kapan kelulusan di sebuah harian yang dicetak secara khusus.
          Dengan mata dan perasaan yang tak terlalu sadar, aku mencari nomor ujianku. Pandangan mataku menjalan dan menatap setiap nomor yang tercetak disana. Ratusan bahkan ribuan nomor ujian yang tercetak membuatku sedikit agak kebingungan mencari nomor ujianku sendiri. Dapat!
SHAVIRRA AGNESIA PUTRI. Ada namaku!
          Aku merasa super bahagia. Aku lulus! Dan aku diterima diuniversitas yang sama dengan sosok pria yang suaranya hampir setiap waktu ku dengar. Aku mencoba menghubunginya berkali-kali. Tak ada jawaban. Namun, aku tetap mencoba dan terus mencoba untuk menghubunginya dan berharap jawab itu segara muncul. Tetap tak ada jawaban.
          Yasudalah, aku sudah dewasa. Sudah lulus SMA. Sudah menjadi mahasiswi di Universitas Indonesia Jakarta. Aku harus bisa berfikir positif dan menjauhkan semua fikiran yang negative. Mungkin dia sibuk. Aku terus bertahan dalam setap kemungkinan dan setiap tebak-tebakan yang ku jawb sendiri.
          Bukankan aku dan dia pernah membangun mimpi bersama? Dan kami akan mewujudkan mimpi itu bersama kan?
          Iya, seharusnya.
***
          Ospek jurusan begitu melelahkan. Aku terus mencari sosoknya diantara banyak senior yang berlalu lalang seperti kendaran lewat dihadapanku. Aku tak melihat bayangan batang hidungnya. Aku tak melihat tanda-tanda tentang kehadirannya. Kini, aku mulai terbiasa dengan keramai-an. Semenjak ia ada dihidupku, semenjak ia menceritakan padaku bahwa asiknya bersosialisasi dengan banyak orang. Dan sosok perubah hidupku itulah yang ku cari saat ini. Ah,  betapa mencari itu sungguh melelahkan. Sudah berjalan sejauh ini, masa harus terhenti karena kabarnya tak lagi ku dengar?
          Semenjak pengumuman penerimaan SNMPTN, kabarnya sulit ku dapat. Entahlah, atau mungkin sekarang ia sudah menjadi senior baru, sehingga jadwalnya yang begitu sibuk tak sempat mengabariku sedikitpun. Lelah aku berjalan mengitari Universitas ini, kampusku; dunia baruku. Langkahku mengarah kesemua taman yang baru aku kunjungi. Lamunanku penuh dengan sosok laki-laki itu.
          Tiba-tiba lamunanku itu seolah menjelma kenyataan. Sosok itu muncul begitu saja. Dia sedang membaca buku sambil berjalan. Dia yang memiliki wajah yang sama persis dengan sosok pria yang sering menelfon beberapa waktu yang lalau. Wajah yang sama persisku lihat pada videocall yang hampir sering kami lakukan. Entah mengapa kakiku melangka otomatis mendekatinya.
Dia menoleh.
     “Lho, Dek? Kok, kamu disini?”
     “Aku diterima disini mas”
    “Ohh” Dia tampak sedikit terkejut. “Baguslah kalau begitu”
     “kenapa kemarin nggak bisa dihubungi terus mas?”
     “Aku sibuk, Dek”
     “sampai enggak ada waktu buatku? Buat ngasih kabar? Buat balas sms dariku?
          Percakapan aneh, beda sekali saat percakan kami terjadi pada telfon seperti biasa. Apa dunia maya dan dunia nyata memang susah untuk disatukan? Susah untuk bersamaan?. Dia Nampak kaku dan semanis pada saat kami bertelfonan. Aku menemukan keanehan dari sorot matanya yang tak lagi terpancar cerah seperti saat aku lihat pada Videocall. Sulit ku pahami.
          Seorang perempuan berjalan mendekati kami. Dia lebih tinggi dari padaku. Rambutnya yang agak di ombre, hidungnya yang agak mancung, wajah yang menurutku itu wajah berdominasi indo-belanda, suara yang lembut namun agak tinggi. Dia menatapku keheranan dan segera merangkul pria yang ada dihadapanku dengan mesra.
     “Lo mahasiswi baru? Lo ngapain disini? Ospeknya udah selsai?” bentaknya dengan nada tinggi.
          Pria yang ada dihadapanku itu, dan pria yang sedang dirangkuh oleh wanita yang membentaku, diam. Pria itu tak menggubris. Mereka bergandeng tangan. Mereka meninggalkanku sendirian. Perasaan yang tadinya ingin aku ungkapkan dengan pria yang sekarang sedang bergandengan tangan dengan wanita lain, terpaksa harus kupendam semakin jauh. Segala beban seperti mengahantamku.
          Aku duduk dibangku taman dan terduduk lemas, sangat lemas. Tak ada energy yang tersimpan didalam tubuhku. Tak ada semangat yang terbakar dalam ragaku. Tak sadar mataku tiba-tibas aja berair, buku ospek yang kini aku genggam sudah berisi tanda tangan senior itu ikut basah terkena hujan air mataku. Saat tangis itu mulai sedikit bersuara, seseorang duduk disampingku. Aku tak tahu siapa dia, sampai akhirnya sosok yang berada disampingku membuka suara.
     “Kamu nangis kenapa? Di hokum senior? Atau dimarahin abis-abisan sama senior yang tadi po?”
Aku terdiam dalam isak tangis ini, dan menggeleng pelan kearan sosok yang disampingku.
          Kini aku tahu siapa yang sedang berasa disampingku ini. Pria medok dengan logat yang agak ku benci, pria yang menurutku adalah pria pengganggu. Pria yang selalu ku marahi disetiap dia mengganggu ketenangan penyendirian hidupku. Dan pria yang satu fakultas denganku. Aku tak tahu penderitaan macam apalagi yang tuhan sediakan untukku.
     “Plis, Fer! Tolong tinggalin gue sendirian” aku berbicara dengan nada pelan menahan isak tangis ini. “Lo bisakan, enggak ngukutin gue terus?”
Ferry tak menjawab pertanyaanku, dia hanya memberi beberapa lembar tisu ke jemariku. Tisu yang ku terima tanpa ucapan terimakasih.
     “Maaf kalau aku mengganggu kamu, bikin risih kamu, bikin susah kamu” ucap Ferry dengan nada penyesalan. “Ini pertama aku melakukan ini terhadap perempuan yang bisa membuat aku jatuh cinta seperti ini, cinta gila”
Aku menoleh kearah Ferry, aku menatap wajahnya dengan penuh pertanyaan dan setengah tak percaya “Megok gila! Kenapa enggak bisa dari dulu”
          Ferry tersenyum menatapku. Dia menggerakan jemarinya untuk mebelai rambuku yang merantakan. Mengusap airmataku yang jauh dipipiku. Kemudian, dia merangkulku hangat. Aku masih melanjutkan tangisku dibahunya. Dia mencoba menghiburku dengan berbagai cara, tangisku berhenti ketika Ferry berkata “aku adalah sandaran yang selalu siap saat kamu menangis, dan aku adalah badut yang selalu siap untuk menghilankan tangisanmu itu”. Aku tertawa geli
Kini aku paham betul, orang yang benar-benar sayang sama kita adalah orang yang memeluk kita disaat kita menangis.
TAMAT

3 komentar: