Sabtu, 11 Juli 2015

#Edisikalian Yang dibutuhkan Kejujuran

Created By : Acandra Aryani

Saya mengingat lagi cerita teman saya. Beberapa hari yang lalu tak sengaja saya menemuinya di cafe, di bilangan summarecon bekasi, jawa barat. Tak biasanya dia pergi sejauh ini seorang diri. Saya menghampirinya dan berusaha mengajaknya bicara apa yang membuatnya menyendiri. Dia hanya bercerita tentang sebagian kisah-nya, namun sorot matanya tak sebahagia kisah yang ia ceritakan.

Kami satu sekolah bahkan kami satu kelas, namun soal percintaan soal beban yang ia pikul tak pernah mau berbagi dengan kami orang yang selalu berada didekatnya. Mungkin disini, dalam suasana yang tak seramai dikelas karna kami hanya berdua. Ditempat yang dengan semoganya membuat dia nyaman bercerita mengeluarkan emosi yang ia tahan selama ini.

Kami bercerita banyak hal, tentang segala hal yang ia lakukan dengan bahagia dan tentang segala hal yang pernah kita lakukan bersama. Raut wajahnya memang terlihat baik-baik saja, namun sorot matanya yang membuat aku gelisah dengan apa yang telah terjadi dengan dia sebenarnya.

Air wajahnya berubah ketika ia mulai bercerita tentang kekasihnya. Kekasih yang kini telah menjadi masa lalunya. Sontak kaget ketika aku mendengar ia menyebutkan kekasihnya dengan sebutan “Mantan”. Tak menyangka bila hubungan mereka retak hingga hancur. Teman seperti apa aku ini? Tak mengetahui tentang hubungan teman sebangkunya itu.

Kini, alur cerita yang ia ceritakan benar-benar saya hayati. Matanya mengawasi saya sejak tadi, sejak saya mengetik dan menyeruput kopi. Dia terus bercerita, sorot mata yang ia digunakan jelas meminta untuk didengarkan setiap kata yang ia ucapkan. Sebenarnya tak perlu meminta saya akan terus mendengarkan.

Kekasih yang betul-betul ia cintai kini diam-diam mencintai wanita lain. Wanita yang juga dekat dengan temanku ini. Dia telah merasakan perubahan kekasihnya sejak 2 bulan sebelum mereka mengucapkan kata “Putus”. Temanku ini selalu berkata bahwa ia tak ingin menjadi penghalang bagi kekasihnya dan wanita itu untuk bersatu. “Kalau emang dia udah terlanjur cinta sama cewe itu, dan cewe itu juga sama. Aku bisa apa? Hanya terus memberi semangat, mungkin” ucapnya disela isak tangisnya.

Ketika dia bercerita sudah dengan menggunakan air mata, saya tahu bahwa beban yang ia pikul sangatlah berat, sampai kalimat untuk menceritakan soal perasaannya tak tersusun rapih. Ada saja perkataannya yang tak saya mengerti. Entah karena memang kalimatnya sungguh asing atau justru saya yang lama untuk mencerna kalimat itu, namun saya mencoba untuk terus memahaminya. Saya paham, ketika dia harus berkali-kali menghela napas ketika bercerita tentang beban yang memberatkan langkahnya selama ini. Saya juga mengerti ketika matanya selalu berkaca-kaca setiap kali nama pria itu disebutkan olehnya. Saya juga memaklumi jika ia harus mengangkat wajahnya berkali-kali, menahan matanya yang berair agar tetap terlihat kuat dan tegar. Kedewasaannya sungguh diuji, ia berusaha terlihat sangat tegar dan sangat kuat di hadapan saya.

Air mata yang saya lihat tempo lalu adalah luapan emosinya yang sempat tertahan. Saya bisa rasakan sakit yang memukul-mukul perasaannya. Sakit diantara memilih cinta atau keegoisan. Menurutnya bila kita mencintai seseorang kita harus siap kehilangannya demi kebahagian. Tapi, dalam duka, masih terselip kebahagiaan yang mampu ia ceritakan pada saya, walau dengan suara tertatih, walau dalam halaan napas lirih.

Dia menghargai temannya yang menurutnya juga menyukai kekasihnya ini. Dia tak tahu harus berkata apa ketika ada orang yang memergokinya, ketika ia sedang menangis. Teman saya ini juga bercerita jika dia selalu menganggap bahwa rasa sayang dan rasa cinta kepada kekasihnya itu sudah tidak ada. Ya kembali lagi, itu karena demi membahagiakan kekasihnya, maaf maksud saya mantan kekasihnya.

Ceritanya sungguh membuat fikiran saya untuk berfikir, mungkin karena saya terlalu perasa. Terlalu membayangkan bagaimana bila saya merasakan hal yang sama. Apakah saya sekuat dan setegar dia?. Saya tak tahan bila melihat atau mendengar seseorang terlebih teman saya sendiri terluka bukan karena sakit yang ia buat sendiri. Percayalah, sakit yang dia rasa bukan atas perilakunya. Teman saya ini hanya menjadi korban cinta yang bisa tiba-tiba datang dan pergi, yang bisa dari siapa untuk siapa.

Saya berfikir, jika wanita yang di cintai mantan kekasih teman saya ini tahu yang sebenarnya. Pasti dia juga akan merasa tidak enak kepada teman saya. Merasa tak pantas menjadi seorang teman, dan secara perlahan akan menjauhi pria yang menjadi sebab masalah.

Sengaja saya tak banyak memberikan solusi, Saya hanya mampu menepuk bahunya berkali-kali dan hanya mampu mengucapkan kata “sabar”. Solusi yang akan saya katakan pada teman saya ini sudah mampu ia pahami sebelum saya mengucapkannya. Begitu hebatnya teman saya menyimpan sakit yang tak tertahan ini berbulan-bulan tanpa menceritakan pada siapapun.

Iya tak lagi menangis, setelah saya berkali-kali merangkul dan mengelus pundaknya agar ia bisa lebih kuat. Setelah saya sedikit mengeluarkan suara saya untuk memberikannya kata-kata yang semoga membuat hatinya lebih baik. Air mata memang sia-sia,  karena yang dibutuhkan di sini adalah kedewasaan. Kedawasaan yang benar-benar bisa mengangkat pola fikir manusia.

Kini saya sangat mengerti tentang yang ia rasakan selama ini, tentang jawaban dari pertanyaan yang menanyakan mengapa wajahnya terlihat murung beberapa hari ini. Saya sangat kagum kepada teman saya ini. Dikala ia sedang tak bisa menata hatinya dengan rapi, ia masih bisa berfikir jernih. Cinta adalah satu kata yang sulit dijelaskan, Tidak terdefinisikan. Soal hati, kata-kata seakan tak ahli untuk memaparkan juga mendeskripsikan. Namun yang saya ambil dari cerita teman saya yang amat sangat tegar dan sangat saya banggakan ini adalah ketika berani mencintai seseorang terlalu dalam maka harus berani terperangkap jatuh kedalam cinta itu sendiri.

Untuk sahabat saya yang tak bisa saya sebutkan namanya.
Saya sangat mengagumimu, bersabarlah…….

TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar