Created By : Acandra Aryani
Saya mengingat
lagi cerita teman saya. Beberapa hari yang lalu tak sengaja saya menemuinya di
cafe, di bilangan summarecon bekasi, jawa barat. Tak biasanya dia pergi sejauh
ini seorang diri. Saya menghampirinya dan berusaha mengajaknya bicara apa yang
membuatnya menyendiri. Dia hanya bercerita tentang sebagian kisah-nya, namun
sorot matanya tak sebahagia kisah yang ia ceritakan.
Kami satu
sekolah bahkan kami satu kelas, namun soal percintaan soal beban yang ia pikul
tak pernah mau berbagi dengan kami orang yang selalu berada didekatnya. Mungkin
disini, dalam suasana yang tak seramai dikelas karna kami hanya berdua.
Ditempat yang dengan semoganya membuat dia nyaman bercerita mengeluarkan emosi
yang ia tahan selama ini.
Kami bercerita
banyak hal, tentang segala hal yang ia lakukan dengan bahagia dan tentang
segala hal yang pernah kita lakukan bersama. Raut wajahnya memang terlihat
baik-baik saja, namun sorot matanya yang membuat aku gelisah dengan apa yang
telah terjadi dengan dia sebenarnya.
Air wajahnya
berubah ketika ia mulai bercerita tentang kekasihnya. Kekasih yang kini telah
menjadi masa lalunya. Sontak kaget ketika aku mendengar ia menyebutkan
kekasihnya dengan sebutan “Mantan”. Tak menyangka bila hubungan mereka retak
hingga hancur. Teman seperti apa aku ini? Tak mengetahui tentang hubungan teman
sebangkunya itu.
Kini, alur
cerita yang ia ceritakan benar-benar saya hayati. Matanya mengawasi saya sejak tadi,
sejak saya mengetik dan menyeruput kopi. Dia terus bercerita, sorot mata yang
ia digunakan jelas meminta untuk didengarkan setiap kata yang ia ucapkan.
Sebenarnya tak perlu meminta saya akan terus mendengarkan.
Kekasih yang betul-betul ia cintai kini diam-diam mencintai
wanita lain. Wanita yang juga dekat dengan temanku ini. Dia telah merasakan
perubahan kekasihnya sejak 2 bulan sebelum mereka mengucapkan kata “Putus”.
Temanku ini selalu berkata bahwa ia tak ingin menjadi penghalang bagi
kekasihnya dan wanita itu untuk bersatu. “Kalau emang dia udah terlanjur cinta
sama cewe itu, dan cewe itu juga sama. Aku bisa apa? Hanya terus memberi
semangat, mungkin” ucapnya disela isak tangisnya.
Ketika dia bercerita sudah dengan menggunakan air mata, saya
tahu bahwa beban yang ia pikul sangatlah berat, sampai kalimat untuk
menceritakan soal perasaannya tak tersusun rapih. Ada saja perkataannya yang
tak saya mengerti. Entah karena memang kalimatnya sungguh asing atau justru
saya yang lama untuk mencerna kalimat itu, namun saya mencoba untuk terus
memahaminya. Saya paham, ketika dia harus berkali-kali menghela napas ketika
bercerita tentang beban yang memberatkan langkahnya selama ini. Saya juga
mengerti ketika matanya selalu berkaca-kaca setiap kali nama pria itu
disebutkan olehnya. Saya juga memaklumi jika ia harus mengangkat wajahnya
berkali-kali, menahan matanya yang berair agar tetap terlihat kuat dan tegar.
Kedewasaannya sungguh diuji, ia berusaha terlihat sangat tegar dan sangat kuat
di hadapan saya.
Air mata yang saya lihat tempo lalu adalah luapan emosinya
yang sempat tertahan. Saya bisa rasakan sakit yang memukul-mukul perasaannya. Sakit
diantara memilih cinta atau keegoisan. Menurutnya bila kita mencintai seseorang
kita harus siap kehilangannya demi kebahagian. Tapi, dalam duka, masih terselip
kebahagiaan yang mampu ia ceritakan pada saya, walau dengan suara tertatih,
walau dalam halaan napas lirih.
Dia menghargai temannya yang menurutnya juga menyukai
kekasihnya ini. Dia tak tahu harus berkata apa ketika ada orang yang
memergokinya, ketika ia sedang menangis. Teman saya ini juga bercerita jika dia
selalu menganggap bahwa rasa sayang dan rasa cinta kepada kekasihnya itu sudah
tidak ada. Ya kembali lagi, itu karena demi membahagiakan kekasihnya, maaf
maksud saya mantan kekasihnya.
Ceritanya sungguh membuat fikiran saya untuk berfikir,
mungkin karena saya terlalu perasa. Terlalu membayangkan bagaimana bila saya
merasakan hal yang sama. Apakah saya sekuat dan setegar dia?. Saya tak tahan
bila melihat atau mendengar seseorang terlebih teman saya sendiri terluka bukan
karena sakit yang ia buat sendiri. Percayalah, sakit yang dia rasa bukan atas
perilakunya. Teman saya ini hanya menjadi korban cinta yang bisa tiba-tiba
datang dan pergi, yang bisa dari siapa untuk siapa.
Saya berfikir, jika wanita yang di cintai mantan kekasih
teman saya ini tahu yang sebenarnya. Pasti dia juga akan merasa tidak enak
kepada teman saya. Merasa tak pantas menjadi seorang teman, dan secara perlahan
akan menjauhi pria yang menjadi sebab masalah.
Sengaja saya tak banyak memberikan solusi, Saya hanya mampu
menepuk bahunya berkali-kali dan hanya mampu mengucapkan kata “sabar”. Solusi
yang akan saya katakan pada teman saya ini sudah mampu ia pahami sebelum saya
mengucapkannya. Begitu hebatnya teman saya menyimpan sakit yang tak tertahan
ini berbulan-bulan tanpa menceritakan pada siapapun.
Iya tak lagi menangis, setelah saya berkali-kali merangkul
dan mengelus pundaknya agar ia bisa lebih kuat. Setelah saya sedikit
mengeluarkan suara saya untuk memberikannya kata-kata yang semoga membuat
hatinya lebih baik. Air mata memang sia-sia, karena yang dibutuhkan
di sini adalah kedewasaan. Kedawasaan yang benar-benar bisa mengangkat pola
fikir manusia.
Kini saya sangat mengerti tentang yang ia rasakan selama
ini, tentang jawaban dari pertanyaan yang menanyakan mengapa wajahnya terlihat
murung beberapa hari ini. Saya sangat kagum kepada teman saya ini. Dikala ia
sedang tak bisa menata hatinya dengan rapi, ia masih bisa berfikir jernih. Cinta
adalah satu kata yang sulit dijelaskan, Tidak terdefinisikan. Soal hati,
kata-kata seakan tak ahli untuk memaparkan juga mendeskripsikan. Namun yang
saya ambil dari cerita teman saya yang amat sangat tegar dan sangat saya
banggakan ini adalah ketika berani mencintai seseorang terlalu dalam maka harus
berani terperangkap jatuh kedalam cinta itu sendiri.
Untuk sahabat saya yang tak bisa
saya sebutkan namanya.
Saya sangat mengagumimu,
bersabarlah…….
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar